Saturday, 30 December 2017

[Puisi] - Hanya Tiga Baris

Hanya Tiga Baris

Bilamana mata ini tertutup
Selalu ada bayang yang melintas di benakku
Dan itu kamu

Cynzgreen, 13 – 11 - 13

Saturday, 23 December 2017

[Cerpen] - Gadis Bayangan

Gadis Bayangan
Karya : Cynthia Novelia

Kubangan duka telah membawa gadis bayangan pergi ke suatu tempat yang gelap. Gadis bayangan itu berusaha melenyapkan dirinya dari tempat itu. Ya, dia berusaha... Sangat berusaha...
***
Hari itu, Rabu di bulan Oktober, gadis bayangan hendak melarikan diri dari serbuan pelita – pelita semu. Apa daya, harapanya raib seketika. Sang pelita semu menemukannya sedang berdiri dengan lugunya. Satu.. dua.. tiga.. bahkan empat jam terbuang tanpa arti. Hanyalah kicauan kosong yang keluar dari bibir – bibir pendusta. Gadis bayangan tak berdaya. Raganya di sana hanya sebagai penanda bahwa ia ada. Tetapi, jiwanya ? Melayang ke tempat di mana seharusnya ia berada. Memasuki jam kelima, masih dan masih saja ia mendengar kata penuh kesemuan.
“ Kami pelita ! Dan kami akan menuntunmu ke jalan menuju tempat di mana tak ada kesenyapan malam, duka, dan tangis. Bahagia ! Bahagia yang akan kami berikan ! “
“ Sungguh ?” Tanya si gadis bayangan. Ia diam – diam meniti kata demi kata yang terucap sehingga menjadi sebuah rangkaian petunjuk. Semu atau nyata, hanya itulah yang ia car.
“ Sungguh ! “ Jawab pelita semu.
“ Bagaimana caranya ? “ Gadis bayangan ini memang kritis. Tentu, ia tidak mudah terkesima pada suatu hal begitu saja.
“ Ikuti semua apa yang kami katakan ! :
“ Apa saja ? “ tanya gadis itu lagi.
“ Lupakan dirimu ! Lepaskan bayangmu dan jadikanlah kami satu - satunya pelitamu ! ”
Gadis bayangan tersentak. Bagaimana bisa ia melupakan dirinya ? Bagaimana bisa ia melepas bayangannya yang telah melekat ? Dan bagaimana bisa ia mengganti pelita yang jelas – jelas sang mentarilah pelitanya selama ini ? Ia hanya membeku.
Semakin lama, ia tersadar bahwa langkah – langkah mungilnya memang salah. Dia, sang mentari, yang selama ini menyatakan kebenaran. Pengakuan kini tiada gunanya lagi. Yang bisa dilakukan hanyalah berubah.
***
Sang gadis menatap bayang wajahnya yang terpantul dari cermin. Ditamparnya kedua pipi yang lusuh itu.
Bangkit, bangkit, dan bangkit !
Ia kembali pada mentari dan rembulan yang selama ini bersedia mengasuhnya. Penyesalan tidak akan pernah menjamunya lagi, itulah harapannya.

Saturday, 16 December 2017

[Cerpen] - Empat Lelaki

Empat Lelaki
Karya : Cynthia Novelia


Lelaki pertama.
Dialah yang pertama yang membuatku salah tingkah. Dialah yang pertama yang mebuat jantung ini berdegup lebih kencang. Dan, dialah yang pertama yang membuatku patah hati. Tetapi, karena dialah aku banyak belajar kalau keindahan fisik itu sangat dibutuhkan untuk mencari yang namanya ‘sebuah perhatian’.
Sudah sembilan tahun aku mengaguminya. Aku mulai sadar ada cinta yang tumbuh ketika menginjak tahun ke lima. Aku tak berharap lebih. Hanya ingin dekat dengannya. Itu saja. Mungkin, sekedar berteman atau bersahabat saja sudah cukup. Tetapi, hati berkata lain. Terbesit rasa ingin memilikinya. Ternyata, itu semua tidak akan menjadi sebuah kenyataan. Mengapa ? Sudah empat kali aku melihatmu berganti pasangan hati dan tipemu tak jauh berbeda. Dia yang bagai seorang model, dia yang manis, dia yang mempesona, dan dia yang terpandang. Aku ? Tentu sudah terjawab. Termasuk hitungan pun tidak.
Wajahmu yang tampan, sang petualang, tinggi, dan tegap...
Sudahlah, kamu hanya akan menjadi kenangan. Tidak kurang dan tidak lebih.

Lelaki kedua.
Jika boleh aku membandingkan dirimu dengan dia yang pertama, penampilan fisikmu kalah darinya. Tetapi, setidaknya kamu pernah memberiku perhatian, walau... pada raga yang salah.
Sama sekali aku tidak pernah membohongimu. Dia itu aku. Hanya saja, aku yang sekarang tidak sejelita aku yang dulu. Itu semua terjadi karena perjuangan hidup yang membuat aku mengabaikan diriku sendiri. Tapi, yakinlah padaku, dia itu aku... Ya, aku...
‘ Sayang ‘,’ cinta ‘ , dan ‘ Aku padamu ‘ sudah terucap.
Maafkanlah aku yang mungkin egois. Masih sering bayangan dia yang pertama berkelit masuk dalam pikiranku. Aku takut... Jika aku menyambut rasa ini, aku akan sering membandingkan dirimu dan dirinya. Hahaha... aku tahu. Aku ini sepertinya gila, jahat, dan egois. Tapi, itulah aku. Bisakah dirimu menerima diriku apa adanya ? Atau, bisakah kau mengubah sifat ini menjadi lebih baik ?
Pada akhirnya, secara tersirat kau menjawab ‘ tidak ‘...
Pelan – pelan kau
Mundur...
Mundur...
Dan mundur...
Hingga hilang berlalu dari pandangan, hingga hilang dari relung hatiku, dan tidak pernah kembali.

Lelaki ketiga.
Maafkan aku. Sekali lagi maafkan diri ini yang tidak sempurna.
Kamu hanya menjadi jembatan penyebrangan ketika aku lari dari semua kenyataan ini. Kamu terlalu pintar untukku. Tidak mungkin orang sepertimu bisa jatuh hati padaku. Aku berusaha untuk menyukaimu, dan aku pun tidak bisa. Beruntungnya, kamu pun sepertinya tidak membuka hati. Walau kita dekat, walau komunikasi berjalan, tetapi semua terasa hambar.
Kita memutuskan  untuk berteman dekat saja.
Dan kita senang dengan keputusan itu.

***
Berhenti !

Dia, lelaki pertama, datang mengunjungiku. Ah... lagi dan lagi. Dia membuatku mengembalikan nostalgia – nostalgia lama yang sudah tersimpan rapi dalam hatiku. Dia datang dengan senyumnya yang kurindukan selama ini. Mata, sinar mata yang tidak pernah kulupakan hingga saat ini. Kembali dia mengobrak – abrik hatiku. Rasa itu kembali. Aku kembali jatuh cinta padanya. Aku berkata pada diriku sendiri, ‘ Dasar wanita rapuh! ‘, dan lalu tertawa menertawakan diri yang lemah tak berdaya oleh karena pesonanya.
Pada akhirnya, ujung cerita yang diciptakan tertebak dengan mudah. Aku melihatnya menjalin tali kesah dengan gadis kelimanya. Perempuan manis tanpa cacat cela pada rupanya. Kini aku menertawai diriku dan berkata pada jiwa ini ‘ Dasar bodoh!, ‘.

Lelaki keempat.
Selama setahun aku tidak mengenal lagi dengan yang namanya cinta. Bagiku cinta antara dua insan tidak akan pernah masuk ke dalam skema kehidupanku. Maka dari itu, aku menyibukkan diriku. Sampai pada akhirnya, lelaki keempat ini datang ke kehidupanku.
Dia bukan seorang yang baru. Aku sudah mengenalnya sejak dahulu. Tetapi, kini dia berbeda. Dia membawa pesona lain dalam kehidupanku. Dia membuatku mengingat kembali tentang...cinta. Ia baik, perhatian, dan pintar. Hampir semua yang kuingini ada padanya. Tahun pertama kita berkomunikasi kembali, ia tidak lupa mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Momen terpenting dalam hidupku itu bisa diingatnya. Aku terharu. Ia lelaki pertama yang begitu lembut menyentuh hatiku. Sejak itu, aku yakin kalau aku ... Jatuh hati padanya.
Tetapi...tidak begitu di tahun kedua.
Ia hanya menghubungiku jika ia perlu. Setelah itu dia menghilang tanpa jejak, seakan kami tidak pernah saling mengenal lagi satu sama lain. Apa aku yang terlalu berharap padamu ? Aku ingat, di tahun kedua, kamu tidak mengucapkan sepatah kata pun di hari ulang tahunku.
Aku menyesal telah menumbuhkan benih cinta dihatiku
Aku menyesal mengingat cinta karena dirimu
Aku menyesal masih melihat fajar menyinsing, yang mengingatkan momen diriku dan dirimu.
Kini...semenjak dirimu, sang lelaki keempat, aku tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta dua insan.

Saturday, 9 December 2017

Saturday, 2 December 2017

[Cerpen] - Empat Kamis

Empat Kamis
Karya : Cynzgreen


Aku membaca kalimat pada salah satu media sosial yang ia miliki. Ternyata dia, lelaki yang kupuja, telah memiliki tambatan hatinya yang baru. Aku patah hati. Serasa remuk redam hati ini. Aku berpikir bahwa rasa yang menghampiriku selalu berakhir pada kesemuan cinta. Terhitung setelah kisah ini, aku telah mengalami tepat empat kali rasanya diberi harapan palsu. Ya, semenjak itu, aku tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Bagiku cinta hanyalah kata yang bermakna hitam. Tak mau lagi aku mengenal cinta.
Tapi, itu semua mulai berubah saat aku bertemu denganmu, lelaki hari Kamis.

***
Kamis pertama
Kita tak saling mengenal. Kau duduk di kursi depan sebelah kiri, sementara aku duduk pada bagian tengah dari ruangan itu. Yang kulihat darimu hanya lelaki dengan kemeja hitam dan kacamata bermodel tua. Hanya itu, dan tak lebih. Kita tak pernah saling menatap. Ketika aku melihatmu, kamu selalu terfokus pada lembaran – lembaran buku yang ada dihadapanmu. Saat kita duduk dalam ruangan yang sama itu, sekelibat bayang tentangnya masih datang dalam benak ini. Dia yang membuatku tersenyum, dia yang membuatku menangis, dan dia yang membuatku terdiam dalam kehampaan. Begitulah, sama sekali tiada arti yang begitu mendalam di Kamis pertama... Semuanya yang ada dalam pikiran ini masih tentang dia sepenuhnya. Dan kau belum mendapatkan ruang dalam diri ini.

Kamis kedua.
Mungkin sudah takdir kita untuk saling berbicara dan menatap di Kamis kedua ini. Kamu, sebagai dosen muda yang memegang kelompokku, duduk manis di depan sambil tersenyum. Kemudian, kau perkenalkan namamu pada kami semua. Setelah lama – lama kupandangi dirimu, muncullah sebuah pendapat bahwa ternyata dirimu manis juga. Baik ketika kau diam, berbicara, ataupun tersenyum, ada kharisma yang menarikku untuk tak hentinya menatap dirimu. Sengaja aku mengajukan beberapa pertanyaan padamu agar aku bisa mendapat momen berdua denganmu, dan aku mendapatkan momen emas itu. Dirimu pintar, dan itu nilai yang sangat positif di mataku. Kamu menjawab semua pertanyaanku dengan jelas. Belum lagi, kamu menerangkannya pertanyaan – pertanyaan itu dengan nada yang menenangkan. Tanpa kusadari, denyut jantungku berdegup kencang. Aku menjadi gugup tatkala kau berada di dekatku dan mencoba memanggil namaku. Rasa yang pernah kurasakan padanya kini muncul untukmu. Aku merasa... Cinta kembali menyapa mesra diri ini. Bisa kukatakan bahwa, aku tertarik padamu. Bahkan seharian itu, tak pernah bayangnya datang menghampiri jiwa ini. Tidak, bayangmu mulai mengusir bayangnya dan mengambil tempat di salah satu titik sudut hati ini. Apa lagi, kamu bersikap ramah pada semua orang. Sikap dan kepribadianmulah yang menjadi titik puncak keyakinan bahwa, cinta mulai tumbuh atas dasar dirimu. Kamis menjadi... hari yang kunanti. Karena hanya pada hari itulah kita dapat bertemu satu sama lain.

Kamis ketiga.
Kita masih berada dalam satu ruangan yang sama, namun terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Kamu di kanan, dan aku di kiri. Tapi setidaknya, aku masih bisa mencuri – curi kecil untuk menatapmu diam – diam. Pernah suatu ketika, kita saling bertemu tatap. Sayangnya, aku tak dapat bersikap biasa saja. Aku langsung membuang pandanganku. Aku malu. Tak berapa lama kemudian kau berjalan ke daerah di mana aku berada. Aku salah tingkah. Aku berusaha untuk tidak tersenyun, tapi bibir memaksaku untuk tersenyum. Pernah kita berbicara walau hanya satu dua kalimat yang terucap. Aku tidak menyangka ternyata kamu masih mengingat namaku dengan jelas. Ah... rasanya bahagia sekali saat – saat itu.

Kamis keempat.
Kamu kembali. Kamu kini menjadi pendamping dalam kelompok kecilku. Semakin lama aku semakin sering berbicara kepadamu. Walau yang hanya kita bicarakan seputar pelajaran saja, tetapi senyum sudah tertera dibibir ini secara otomatis. Apalagi satu waktu, ketika aku bertanya dan kamu menjawab, kamu memegang pundakku. Nada suaramu yang lembut dan tatapan matamu yang sendu membuat aku luluh hati padamu. Selama kegiatan yang kurasakan adalah bahagia. Namun, itu semua terpatahkan tatkala temanku bercanda padamu untuk memberikan sebongkah bunga mawar dan kamu berkata, “ Maaf, bunga itu jangan kamu beri kepada saya. Saya sudah sada yang punya...,“. Aku terdiam, terpaku dengan kalimat itu, dan tertunduk. Ah... ternyata dia sudah memiliki sang penjaga hatinya. Wajar saja, ia lelaki yang baik. Ia lelaki yang pintar dan memiliki sisi kelembutan yang selama ini kucari. Rasanya, memang tidak mungkin jika ia tidak memiliki kekasih.
Temanku yang menyadari sikapku langsung datang dan berkata, “ Sabar ya... “ Aku hanya tersenyum kecil dan kembali menundukkan kepalaku. Aku menarik nafas sedalam – dalamnya dan menghebuskannya sekuat mungkin, ya, seiringan dengan kubuang rasa ini. Saat hendak meninggalkan ruangan, aku menatap dirinya sekali lagi. Beruntung saat itu kami tidak saling menatap, sehingga ada waktuku untuk ternyum dan berkata dalam keheningan, selamat tinggal. Dalam hati aku berterima kasih padanya karena telah membiarkanku menjalani pengalaman singkat dalam mencintainya. Walau hanya empat kamis dan dapat dibilang rasa ini singgah hanya untuk sementara, memori yang telah ada akan kukenang selamanya...

Saturday, 25 November 2017

[Puisi] - Di Manakah Engaku ?

Di manakah Engkau ?
Aku bingung,
Mengapa tak pernah Engkau menjawab aku ?
Mengapa hitam engkau putihkan ?
Mengapa ada kesempatan baginya sementara hampa bagiku ?

Aku lelah.

Di manakah Engkau ?


Cynthia Novelia
20 – 04 - 2014

Saturday, 18 November 2017

[Puisi] - Dalam Rintik Hujan Kumenulis

Dalam Rintik Hujan Kumenulis

Merengkuhmu
Atas nama cinta
Yang mengawang dalam belaian kasih

Merindumu
Tanpa tepian, tanpa syarat
Hingga waktu datang
Membatasi rasa ini

-Cynzgreen
13 – 11 - 13

Saturday, 11 November 2017

Saturday, 4 November 2017

Saturday, 28 October 2017

[Puisi] - Dalam Remang Cahaya

Dalam Remang Cahaya

Dalam hening kuberlindung
Dalam hampa kuberharap
Dalam sunyi kutertawa

Layaknya sebuah jiwa dalam penantian
Tanpa arah dan tujuan
Serta mengaburnya lintasan hidup.

-Cynzgreen
09 – 11- 2013

Saturday, 21 October 2017

[Puisi] - Dalam Malam

Dalam Malam

Dalam biru malam kuberjalan
Langkah demi langkah menghanyutkanku
Tenggelam dalam penantian, tenggelam dalam pengharapan
Sebuah perpisahan indah yang terekan menjadi sebuah nostalgia
Ya, nostalgia indah

Dalam Sehari
24 jam
1440 menit
86400 detik
Hanya kamu
Yang ada dalam pikiranku

Sebuah pertanyaan keluar dalam sendunya petang
“ Ingatkah kamu pada diriku ? “

Dalam malam kuberdiam
Memojokkan diri dalam sebuah ruang kesedihan
Hembusan angin malam membuatku semakin dingin
Membeku dalam cintamu
Aku terjerat oleh karenamu
Pandanganku tak bisa lari darimu
Tapi kini engaku membekukan penantianku
Tiga rasa masih tersisa untukmu
Benci
Sedih
Cinta
Dan yang terakhir akan tersisa untukmu selamanya.

-Cynzgreen
19 – 11 - 13

Saturday, 14 October 2017

[Puisi] - Bisakah ?

Bisakah ?

Sebuah titisan sang dewa
Aku lahir ke dunia
Dunia semu yang berujung pada kematian
Mengapa aku harus hidup ?

Di ujung pelupuk mata
Penuh cemas, penuh harap
Dustanya dunia terlalu kuresapi
Hingga menjadi abu semata

Bisakah menjadi seperti yang kuingini ?
Bisakah terbang bebas bagai burung gereja di angkasa sana ?
Bisakah aku... ‘hidup’ ?

-Cynzgreen
25 – 11 – 2013 

Saturday, 7 October 2017

Saturday, 23 September 2017

[Cerpen] - Bangku

Bangku
Karya : Cynzgreen

Rasanya, hari ini begitu terik. Nayla berjalan di sepanjang taman dengan keringat di sekujur tubuhnya. Ia heran, di sepanjang jalan taman itu banyak pepohonan, namun masih saja terasa panas. Sampailah pada saatnya Nayla melihat sebuah bangku di taman itu. Bangku itu diteduhi oleh pohon beringin yang sangat besar. Walau pohon beringin itu terkesan menyeramkan, ia merasa ia perlu mengistirahatkan badannya itu sejenak. Ia pun berjalan ke arah bangku tersebut dan duduk di sana. Ia menghempaskan tubuhnya di atas bangku. Peralatan yang ia miliki sebagai seorang calon sarjana teknik tersebar di atas rerumputan. Lelah, itulah yang ia rasakan. Ia menarik nafas dalam – dalam dan menghembuskannya sekencang mungkin. Ia lalu memejamkan matanya dan tanpa sadar ia terlelap.
***
Ia membuka matanya, kemudian ia melihat ada sesosok lelaki berdiri di hadapannya.
“Bolehkah aku duduk di sini untuk sementara ?“
“Oh, silahkan. Maaf.“ Nayla segera duduk, membereskan baju dan peralatan tekniknya.
Lelaki jangkung itu tersenyum ke arahnya. Kemudian ia melirik Nayla dan kembali tersenyum. Nayla tersipu malu. Lelaki itu mengulurkan tangan dan mengucapkan namanya,
“Rino.”
“Nayla.” Nayla membalas uluran tangan itu.
“Apa kabar ? Baik ?”
Nayla melihat wajah lelaki itu. Garis wajahnya jelas. Kulit sawo matangnya menambah kesan gagah pada dirinya. Leher yang jenjang dan gaya rambut klinis menambah daya tarik lelaki yang kini ada di sampingnya. Nayla lalu menjawab dengan iringan senyum yang sangat manis.
“Baik. Kamu ?”
“Baik. Sangat baik.” Rino masih tersenyum ketika menatap kedua bola mata Nayla yang indah. Terbentuk lesung pipi Rino yang membuat lelaki itu semakin sedap untuk dipandang. Hembusan angin yang lewat membuat mereka secara serentak menghirup nafas dalam – dalam. Karena sadar mereka berdua melakukan hal itu secara serentak, pecahlah tawa di antara mereka. Rasa segar dan tenang menyelimuti mereka berdua. Tidak berapa lama setelahnya, Rino menggenggam tangan Nayla dengan lembut.
“ Aku pamit ya. Masih ada urusan lagi.” Kemudian Rino membelai rambut Nayla dan mengecup kening gadis itu. Terasa seperti tetesan air di atas kepala Nayla. Nayla membatin, apakah itu tetesan hujan ataukah air mata ?
“ Selamat tinggal.” Rino berjalan menjauhinya.
“ Iya! Sampai jumpa kembali !” Nayla melambai ke arah Rino. Rino tersenyum, lalu membalikkan badannya. Kemudian, bayangnya pun perlahan menghilang dari pandangan Nayla. Nayla tersenyum dan kemudian melanjutkan tidurnya.
***
“ Ting tong ! Permisiii !”  Suara gaduh itu membangunkan Nayla.
“ Iya sabar !” Jawab Nayla dengan sedikit ketus.
“ Sabar mbak... “ Lelaki itu menghempaskan peralatan lukisnya. Tergabunglah sebaran barang Nayla dan barang lelaki itu.
“ Eh ! Nanti kau beresi tuh !” Ucap Nayla sambil menunjuk – nunjuk ke arah barang – barang yang berserakan itu.
“ Iyaaa. Amaaan.” Ia lalu membuka topinya. Teurailah rambut panjangnya yang terlihat jelas bahwa rambut itu terawat dengan baik. Nayla dengan mudah menebak bahwa ia pasti murid dari fakultas seni. Lelaki itu kemudian duduk dengan kaki kiri yang menopang kaki kananya. Ia melihat ke arah Nayla dan mengulurkan tangannya sembari menatap sinis.
“ Jack. “ Kata lelaki itu ketus dan bernada angkuh.
“ Sombong banget ! Nama palsu lagi. Ogah ! “ Nayla membuang wajahnya.
“ Eh lu ! Sok jual mahal banget sih ! Cuma mau kenalan doang ! “ Lelaki itu berdiri lalu bertegak pinggang sambil menatap kesal Nayla.
Terpancinglah emosi Nayla. Ia ikut berdiri dan juga bertegak pinggang.
“ Eh, lu duluan yang cari masalah ! Ini tempat gue duluan yang dapat !”
“ Asem !”
“ Lu yang asem !”
Semakin lama semakin mendekat wajah mereka, hingga pada suatu jarak yang cukup dekat, mereka berhenti bergerak. Mereka saling menatap dan setelahnya secara serentak membuang wajah. Lalu mereka duduk di bangku dengan membalikkan badan. Mereka tidak ingin saling melihat satu sama lain.
Diam mengisi kekosongan mereka dalam jangka waktu yang cukup lama. Akhirnya lelaki iulah yang membuka suara terlebih dahulu.
“ Maaf. Maksudku datang bukan untuk begini jadinya. Aku Tristan dan kali ini bukan nama palsuku. “
Nayla masih diam dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik ke arah lelaki tersebut. Badannya masih ia condongkan bukan ke arah Tristan.
“ Jack itu cuma candaan aja. “ lanjut Tristan.
Nayla masih diam. Secara mendadak, Tristan memeluk Nayla dari belakang. Nayla mencium bau parfum kesukaannya, Bvlgari. Walaupun penampilannya sedikit berantakan, sebenarnya lelaki ini sangat merawat tubuhnya dengan baik.
“ Maaf. Tidak begini yang sebenarnya aku inginkan. “ Tristan semakin mengeratkan pelukkannya.
Nayla merasa ada tetesan yang lagi – lagi jatuh di atas kepalanya. Apakah Tristan menangis atau memang langit yang sedang ingin merintikkan air matanya ?
“ Aku ingin bertanya, apa kabarmu hari ini. “, lanjut Tristan. Ia kemudian melepas peluknya, dan membereskan barang – barang yang berserakkan di atas rumput. Sebelum ia pergi, ia berkata kepada Nayla.
“ Jaga dirimu baik – baik ya. “ lalu ia berlalu.
“ Tunggu ! ” kata Nayla. Lelaki itu menghentikan langkahnya.
Nayla berlali mendekatinya, “ Namaku Nayla. Maaf juga atas sikapku tadi yang kurang dewasa. Aku baik – baik saja. “
Lelaki itu tersenyum dengan manis sekali, “ Baguslah kalau begitu. Aku pamit dulu ya. “ Sebelum ia kembali melanjutkan langkahnya, ia mengecup dahi Nayla. Nayla terpaku. Lelaki itu kemudian melambaikan tangannya dan kembali melanjutkan langkahnya hingga bayangnya pun tidak dalam jangkauan penglihatan Nayla. Nayla merasa sedikit pusing. Sudah dua kali tidurnya terganggu. Ia kembali ke bangku dan melanjutkan tidur siangnya.
***
Karena sudah pegal, Nayla memiringkan kepalanya ke arah kanan. Saat ia telah mengubah posisi kepalanya, ia merasa bahwa kepalanya bersandar pada teman yang nyaman. Ia membuka matanya, ia langsung terkejut. Ternyata, kepalanya telah bersandar pada pundak seorang lelaki. Ditatapnya wajah lelaki itu. Tampan, satu kat itulah yang terbesit dalam benak Nayla. Nayla kemudian meminta maaf.
“ Oh, tidak apa – apa. Silakan. “
Nayla tersipu malu. Ia merapikan pakaian dan rambutnya. Lelaki itu tertawa kecil melihat Nayla yang menjadi salah tingkah. Ia kemudian meraih tangan Nayla dan menggenggamnya dengan mesra. Nayla dengan manja menyandarkan kepalanya ke pundak si lelaki.Pundah yang lebar, sungguh menghangatkan. Hal itu membuatnya semakin betah untuk bersandar lebih lama.
“ Aku selalu menanti senja. “ Ucap lelaki itu. Menghela nafas, lalu melanjutkan kalimatnya, “ Saat kita pertama kali bertemu, kamu, dengan pakaian manismu membuatku lupa akan diriku sendiri. Kuberanikan diriku untuk menemuimu dan mengajak dirimu untuk saling mengenal satu sama lain. Kamu menanggapi semuanya dengan baik.”. lelaki itu berhenti sejenak sembari membelai rambut Nayla dengan lembut. Nayla tetap sedia untuk mendengarkan.
“ Sampai pada akhirnya, aku tidak dapat menahan semuanya. Aku menyatakannya ketika mentari senja
hendak berpulang ke rumahnya. Pemandangannya indah dan sambutan hangat darimu. Aku tidak akan melupakan masa itu. Masa, di mana kita menjadi sepasang kekasih pada dunia yang sama. “
Tanpa sadar, Nayla meneteskan air matanya.
“ Ra...Ramon ? “
Lelaki itu tersenyum. “ Iya, Apa kabar ? “ kemudian ia mengecup dahi Nayla.
“ Ramon ! “ Nayla langsung memeluknya dengan erat. “ Aku rindu padamu ! Sangar Rindu ! “ kata Nayla diiringi isak tangis.
“ Aku pun juga begitu. Sampai jumpa di lain waktu. “
“ Ramon ! Jangan tinggalkan aku ! Maafkan aku ! “
Nayla terbangun. Yang ditatapnya untuk pertama kali adalah Vena, teman sekelasnya.
“ Lu horor banget dah. Tidur, mimpi sampai ngigau teriak – teriak gak jelas gitu. Ayo bangun, beresin barang – barang lu. Udah gerimis. Mau masuk kelas juga, kan ? “
Nayla masih terdiam. Barang – barangnya justru dibereskan Vena. Ternyata, semuanya hanya mimpi. Hampir semua orang yang berada di taman menatap Nayla dengan aneh, namun Nayla tidak begitu mempedulikan mereka. Nayla menguap, lalu ikut membantu Vena dan berlalu dari sana menuju ke kelas.
***
Rino adalah salah satu sahabat paling dekat yang Nayla miliki. Saat itu mereka kelas 2 SMA. Rino wafat ketika ia hendak kembali dari liburan panjang kenaikan kelas. Kecelakaan bus membuatnya harus berpisah dengan Nayla untuk selamanya.
Tristan juga merupakan salah satu sahabat terbaik yang Nayla sayangi. Awal perkenalan mereka memang diiringi dengan perkelahian. Tetapi, seiring berjalannya waktu, ternyata mereka semakin mengenal bahwa satu sama lain adalah sahabat yang sangat perhatian. Sejak saat itu, perkelahian besar tidak pernah ada di antara mereka. Tristan wafat karena penyakit demam berdarah.
Ramon adalah cinta dan sekaligus kekasih pertama Nayla. Mereka pertama kali berkenalan ketika Nayla memasuki semester kedua dan Ramon semester ke empat. Saat itu, di kantin, mereka memesan menu yang sama. Secara spontan mereka berdua tertawa bersama. Itulah awal perkenalan mereka. Seiring berjalannya waktu dan komunikasi yang selalu terjalin di antara mereka, Ramon menyatakan cintanya dan Nayla menyambutnya dengan sangat baik.
Tetapi, kisah romantis mereka tidak berjalan mulus sesuai dengan kehendak mereka. Ketika itu, Nayla dan Ramon sedang bertengkar hanya karena masalah yang sepele. Cemburu. Ya, Nayla cemburu pada seorang gadis yang selalu berusaha mendekati Ramon. Ramon sudah memberi penjelasan bahwa hanya Nayla yang ada di hatinya, namun Nayla masih enggan untuk berbicara pada Ramon. Seminggu sudah berlalu tanpa suara Nayla. Ramon tidak betah dengan keadaan seperti ini. Ingin segera ia menyelesaikan masalah itu agar senyum yang ia rindukan dapat ia liaht kembali. Pada malam hari, dengan kecepatan tinggi, motornya melaju menuju rumah Nayla. Tetapi, nasib naas menimpanya, ia menabrak truk besar yang berhenti di pinggir jalan sehingga ia terpental dan langsung meninggal di tempat.
***
Selama pelajaran berlangsung, Nayla tidak dapat memfokuskan dirinya. Ia melihat ke jendela dan menatap langit biru cerah dengan seksama. Ia membatin,

 Kalian yang kukasihi, apa kabar di sana ? 

Saturday, 16 September 2017

[Puisi] - Apakah ?

Apakah ?

Apakah
Kamu masih mengingat diriku?
Masihkah kamu mengenali suara dan tulisan – tulisanku?
Ataukah
Kamu telah melupakan semuanya?
Semua kenangan
Yang telah kita ciptakan selama ini?

Aku sadar
Mungkin kini kamu telah bersama dia

Aku tak memiliki hak atas
Candamu,
Tawamu,
Serta senyummu

Kasihmu adalah miliknya,
Sang pengisihi hatimu

Namun aku mengantar surat ini
Tidak untuk memaksamu untuk kembali kepadaku

Aku
Hanya ingin mengatakan ‘maaf’ padamu
Sebelum aku pergi menjauh untuk selamanya

Cynzgreen
11/07/2013

Saturday, 9 September 2017

Saturday, 2 September 2017

52 Pieces of Art #1 - Cynzgreen




Halo, September 2017 !

  Dalam setahun ke depan, setiap sabtu, blog ini akan mem-post karya - karya saya. Contohnya : puisi, cerpen, gambar, ataupun fotografi. Kali ini akan tepat setahun karena jumlah karya yang saya persiapkan sudah mencukupi untuk jumlah minggu dalam setahun.
  Semoga teman-teman dapat menikmati hasil karya saya :)



" Dreams Don't Work Unless You Do. " - John C. Maxwell


---
Picture is made by using canva.com