Saturday 2 December 2017

[Cerpen] - Empat Kamis

Empat Kamis
Karya : Cynzgreen


Aku membaca kalimat pada salah satu media sosial yang ia miliki. Ternyata dia, lelaki yang kupuja, telah memiliki tambatan hatinya yang baru. Aku patah hati. Serasa remuk redam hati ini. Aku berpikir bahwa rasa yang menghampiriku selalu berakhir pada kesemuan cinta. Terhitung setelah kisah ini, aku telah mengalami tepat empat kali rasanya diberi harapan palsu. Ya, semenjak itu, aku tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Bagiku cinta hanyalah kata yang bermakna hitam. Tak mau lagi aku mengenal cinta.
Tapi, itu semua mulai berubah saat aku bertemu denganmu, lelaki hari Kamis.

***
Kamis pertama
Kita tak saling mengenal. Kau duduk di kursi depan sebelah kiri, sementara aku duduk pada bagian tengah dari ruangan itu. Yang kulihat darimu hanya lelaki dengan kemeja hitam dan kacamata bermodel tua. Hanya itu, dan tak lebih. Kita tak pernah saling menatap. Ketika aku melihatmu, kamu selalu terfokus pada lembaran – lembaran buku yang ada dihadapanmu. Saat kita duduk dalam ruangan yang sama itu, sekelibat bayang tentangnya masih datang dalam benak ini. Dia yang membuatku tersenyum, dia yang membuatku menangis, dan dia yang membuatku terdiam dalam kehampaan. Begitulah, sama sekali tiada arti yang begitu mendalam di Kamis pertama... Semuanya yang ada dalam pikiran ini masih tentang dia sepenuhnya. Dan kau belum mendapatkan ruang dalam diri ini.

Kamis kedua.
Mungkin sudah takdir kita untuk saling berbicara dan menatap di Kamis kedua ini. Kamu, sebagai dosen muda yang memegang kelompokku, duduk manis di depan sambil tersenyum. Kemudian, kau perkenalkan namamu pada kami semua. Setelah lama – lama kupandangi dirimu, muncullah sebuah pendapat bahwa ternyata dirimu manis juga. Baik ketika kau diam, berbicara, ataupun tersenyum, ada kharisma yang menarikku untuk tak hentinya menatap dirimu. Sengaja aku mengajukan beberapa pertanyaan padamu agar aku bisa mendapat momen berdua denganmu, dan aku mendapatkan momen emas itu. Dirimu pintar, dan itu nilai yang sangat positif di mataku. Kamu menjawab semua pertanyaanku dengan jelas. Belum lagi, kamu menerangkannya pertanyaan – pertanyaan itu dengan nada yang menenangkan. Tanpa kusadari, denyut jantungku berdegup kencang. Aku menjadi gugup tatkala kau berada di dekatku dan mencoba memanggil namaku. Rasa yang pernah kurasakan padanya kini muncul untukmu. Aku merasa... Cinta kembali menyapa mesra diri ini. Bisa kukatakan bahwa, aku tertarik padamu. Bahkan seharian itu, tak pernah bayangnya datang menghampiri jiwa ini. Tidak, bayangmu mulai mengusir bayangnya dan mengambil tempat di salah satu titik sudut hati ini. Apa lagi, kamu bersikap ramah pada semua orang. Sikap dan kepribadianmulah yang menjadi titik puncak keyakinan bahwa, cinta mulai tumbuh atas dasar dirimu. Kamis menjadi... hari yang kunanti. Karena hanya pada hari itulah kita dapat bertemu satu sama lain.

Kamis ketiga.
Kita masih berada dalam satu ruangan yang sama, namun terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Kamu di kanan, dan aku di kiri. Tapi setidaknya, aku masih bisa mencuri – curi kecil untuk menatapmu diam – diam. Pernah suatu ketika, kita saling bertemu tatap. Sayangnya, aku tak dapat bersikap biasa saja. Aku langsung membuang pandanganku. Aku malu. Tak berapa lama kemudian kau berjalan ke daerah di mana aku berada. Aku salah tingkah. Aku berusaha untuk tidak tersenyun, tapi bibir memaksaku untuk tersenyum. Pernah kita berbicara walau hanya satu dua kalimat yang terucap. Aku tidak menyangka ternyata kamu masih mengingat namaku dengan jelas. Ah... rasanya bahagia sekali saat – saat itu.

Kamis keempat.
Kamu kembali. Kamu kini menjadi pendamping dalam kelompok kecilku. Semakin lama aku semakin sering berbicara kepadamu. Walau yang hanya kita bicarakan seputar pelajaran saja, tetapi senyum sudah tertera dibibir ini secara otomatis. Apalagi satu waktu, ketika aku bertanya dan kamu menjawab, kamu memegang pundakku. Nada suaramu yang lembut dan tatapan matamu yang sendu membuat aku luluh hati padamu. Selama kegiatan yang kurasakan adalah bahagia. Namun, itu semua terpatahkan tatkala temanku bercanda padamu untuk memberikan sebongkah bunga mawar dan kamu berkata, “ Maaf, bunga itu jangan kamu beri kepada saya. Saya sudah sada yang punya...,“. Aku terdiam, terpaku dengan kalimat itu, dan tertunduk. Ah... ternyata dia sudah memiliki sang penjaga hatinya. Wajar saja, ia lelaki yang baik. Ia lelaki yang pintar dan memiliki sisi kelembutan yang selama ini kucari. Rasanya, memang tidak mungkin jika ia tidak memiliki kekasih.
Temanku yang menyadari sikapku langsung datang dan berkata, “ Sabar ya... “ Aku hanya tersenyum kecil dan kembali menundukkan kepalaku. Aku menarik nafas sedalam – dalamnya dan menghebuskannya sekuat mungkin, ya, seiringan dengan kubuang rasa ini. Saat hendak meninggalkan ruangan, aku menatap dirinya sekali lagi. Beruntung saat itu kami tidak saling menatap, sehingga ada waktuku untuk ternyum dan berkata dalam keheningan, selamat tinggal. Dalam hati aku berterima kasih padanya karena telah membiarkanku menjalani pengalaman singkat dalam mencintainya. Walau hanya empat kamis dan dapat dibilang rasa ini singgah hanya untuk sementara, memori yang telah ada akan kukenang selamanya...

No comments:

Post a Comment