Saturday, 30 December 2017

[Puisi] - Hanya Tiga Baris

Hanya Tiga Baris

Bilamana mata ini tertutup
Selalu ada bayang yang melintas di benakku
Dan itu kamu

Cynzgreen, 13 – 11 - 13

Saturday, 23 December 2017

[Cerpen] - Gadis Bayangan

Gadis Bayangan
Karya : Cynthia Novelia

Kubangan duka telah membawa gadis bayangan pergi ke suatu tempat yang gelap. Gadis bayangan itu berusaha melenyapkan dirinya dari tempat itu. Ya, dia berusaha... Sangat berusaha...
***
Hari itu, Rabu di bulan Oktober, gadis bayangan hendak melarikan diri dari serbuan pelita – pelita semu. Apa daya, harapanya raib seketika. Sang pelita semu menemukannya sedang berdiri dengan lugunya. Satu.. dua.. tiga.. bahkan empat jam terbuang tanpa arti. Hanyalah kicauan kosong yang keluar dari bibir – bibir pendusta. Gadis bayangan tak berdaya. Raganya di sana hanya sebagai penanda bahwa ia ada. Tetapi, jiwanya ? Melayang ke tempat di mana seharusnya ia berada. Memasuki jam kelima, masih dan masih saja ia mendengar kata penuh kesemuan.
“ Kami pelita ! Dan kami akan menuntunmu ke jalan menuju tempat di mana tak ada kesenyapan malam, duka, dan tangis. Bahagia ! Bahagia yang akan kami berikan ! “
“ Sungguh ?” Tanya si gadis bayangan. Ia diam – diam meniti kata demi kata yang terucap sehingga menjadi sebuah rangkaian petunjuk. Semu atau nyata, hanya itulah yang ia car.
“ Sungguh ! “ Jawab pelita semu.
“ Bagaimana caranya ? “ Gadis bayangan ini memang kritis. Tentu, ia tidak mudah terkesima pada suatu hal begitu saja.
“ Ikuti semua apa yang kami katakan ! :
“ Apa saja ? “ tanya gadis itu lagi.
“ Lupakan dirimu ! Lepaskan bayangmu dan jadikanlah kami satu - satunya pelitamu ! ”
Gadis bayangan tersentak. Bagaimana bisa ia melupakan dirinya ? Bagaimana bisa ia melepas bayangannya yang telah melekat ? Dan bagaimana bisa ia mengganti pelita yang jelas – jelas sang mentarilah pelitanya selama ini ? Ia hanya membeku.
Semakin lama, ia tersadar bahwa langkah – langkah mungilnya memang salah. Dia, sang mentari, yang selama ini menyatakan kebenaran. Pengakuan kini tiada gunanya lagi. Yang bisa dilakukan hanyalah berubah.
***
Sang gadis menatap bayang wajahnya yang terpantul dari cermin. Ditamparnya kedua pipi yang lusuh itu.
Bangkit, bangkit, dan bangkit !
Ia kembali pada mentari dan rembulan yang selama ini bersedia mengasuhnya. Penyesalan tidak akan pernah menjamunya lagi, itulah harapannya.

Saturday, 16 December 2017

[Cerpen] - Empat Lelaki

Empat Lelaki
Karya : Cynthia Novelia


Lelaki pertama.
Dialah yang pertama yang membuatku salah tingkah. Dialah yang pertama yang mebuat jantung ini berdegup lebih kencang. Dan, dialah yang pertama yang membuatku patah hati. Tetapi, karena dialah aku banyak belajar kalau keindahan fisik itu sangat dibutuhkan untuk mencari yang namanya ‘sebuah perhatian’.
Sudah sembilan tahun aku mengaguminya. Aku mulai sadar ada cinta yang tumbuh ketika menginjak tahun ke lima. Aku tak berharap lebih. Hanya ingin dekat dengannya. Itu saja. Mungkin, sekedar berteman atau bersahabat saja sudah cukup. Tetapi, hati berkata lain. Terbesit rasa ingin memilikinya. Ternyata, itu semua tidak akan menjadi sebuah kenyataan. Mengapa ? Sudah empat kali aku melihatmu berganti pasangan hati dan tipemu tak jauh berbeda. Dia yang bagai seorang model, dia yang manis, dia yang mempesona, dan dia yang terpandang. Aku ? Tentu sudah terjawab. Termasuk hitungan pun tidak.
Wajahmu yang tampan, sang petualang, tinggi, dan tegap...
Sudahlah, kamu hanya akan menjadi kenangan. Tidak kurang dan tidak lebih.

Lelaki kedua.
Jika boleh aku membandingkan dirimu dengan dia yang pertama, penampilan fisikmu kalah darinya. Tetapi, setidaknya kamu pernah memberiku perhatian, walau... pada raga yang salah.
Sama sekali aku tidak pernah membohongimu. Dia itu aku. Hanya saja, aku yang sekarang tidak sejelita aku yang dulu. Itu semua terjadi karena perjuangan hidup yang membuat aku mengabaikan diriku sendiri. Tapi, yakinlah padaku, dia itu aku... Ya, aku...
‘ Sayang ‘,’ cinta ‘ , dan ‘ Aku padamu ‘ sudah terucap.
Maafkanlah aku yang mungkin egois. Masih sering bayangan dia yang pertama berkelit masuk dalam pikiranku. Aku takut... Jika aku menyambut rasa ini, aku akan sering membandingkan dirimu dan dirinya. Hahaha... aku tahu. Aku ini sepertinya gila, jahat, dan egois. Tapi, itulah aku. Bisakah dirimu menerima diriku apa adanya ? Atau, bisakah kau mengubah sifat ini menjadi lebih baik ?
Pada akhirnya, secara tersirat kau menjawab ‘ tidak ‘...
Pelan – pelan kau
Mundur...
Mundur...
Dan mundur...
Hingga hilang berlalu dari pandangan, hingga hilang dari relung hatiku, dan tidak pernah kembali.

Lelaki ketiga.
Maafkan aku. Sekali lagi maafkan diri ini yang tidak sempurna.
Kamu hanya menjadi jembatan penyebrangan ketika aku lari dari semua kenyataan ini. Kamu terlalu pintar untukku. Tidak mungkin orang sepertimu bisa jatuh hati padaku. Aku berusaha untuk menyukaimu, dan aku pun tidak bisa. Beruntungnya, kamu pun sepertinya tidak membuka hati. Walau kita dekat, walau komunikasi berjalan, tetapi semua terasa hambar.
Kita memutuskan  untuk berteman dekat saja.
Dan kita senang dengan keputusan itu.

***
Berhenti !

Dia, lelaki pertama, datang mengunjungiku. Ah... lagi dan lagi. Dia membuatku mengembalikan nostalgia – nostalgia lama yang sudah tersimpan rapi dalam hatiku. Dia datang dengan senyumnya yang kurindukan selama ini. Mata, sinar mata yang tidak pernah kulupakan hingga saat ini. Kembali dia mengobrak – abrik hatiku. Rasa itu kembali. Aku kembali jatuh cinta padanya. Aku berkata pada diriku sendiri, ‘ Dasar wanita rapuh! ‘, dan lalu tertawa menertawakan diri yang lemah tak berdaya oleh karena pesonanya.
Pada akhirnya, ujung cerita yang diciptakan tertebak dengan mudah. Aku melihatnya menjalin tali kesah dengan gadis kelimanya. Perempuan manis tanpa cacat cela pada rupanya. Kini aku menertawai diriku dan berkata pada jiwa ini ‘ Dasar bodoh!, ‘.

Lelaki keempat.
Selama setahun aku tidak mengenal lagi dengan yang namanya cinta. Bagiku cinta antara dua insan tidak akan pernah masuk ke dalam skema kehidupanku. Maka dari itu, aku menyibukkan diriku. Sampai pada akhirnya, lelaki keempat ini datang ke kehidupanku.
Dia bukan seorang yang baru. Aku sudah mengenalnya sejak dahulu. Tetapi, kini dia berbeda. Dia membawa pesona lain dalam kehidupanku. Dia membuatku mengingat kembali tentang...cinta. Ia baik, perhatian, dan pintar. Hampir semua yang kuingini ada padanya. Tahun pertama kita berkomunikasi kembali, ia tidak lupa mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Momen terpenting dalam hidupku itu bisa diingatnya. Aku terharu. Ia lelaki pertama yang begitu lembut menyentuh hatiku. Sejak itu, aku yakin kalau aku ... Jatuh hati padanya.
Tetapi...tidak begitu di tahun kedua.
Ia hanya menghubungiku jika ia perlu. Setelah itu dia menghilang tanpa jejak, seakan kami tidak pernah saling mengenal lagi satu sama lain. Apa aku yang terlalu berharap padamu ? Aku ingat, di tahun kedua, kamu tidak mengucapkan sepatah kata pun di hari ulang tahunku.
Aku menyesal telah menumbuhkan benih cinta dihatiku
Aku menyesal mengingat cinta karena dirimu
Aku menyesal masih melihat fajar menyinsing, yang mengingatkan momen diriku dan dirimu.
Kini...semenjak dirimu, sang lelaki keempat, aku tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta dua insan.

Saturday, 9 December 2017

Saturday, 2 December 2017

[Cerpen] - Empat Kamis

Empat Kamis
Karya : Cynzgreen


Aku membaca kalimat pada salah satu media sosial yang ia miliki. Ternyata dia, lelaki yang kupuja, telah memiliki tambatan hatinya yang baru. Aku patah hati. Serasa remuk redam hati ini. Aku berpikir bahwa rasa yang menghampiriku selalu berakhir pada kesemuan cinta. Terhitung setelah kisah ini, aku telah mengalami tepat empat kali rasanya diberi harapan palsu. Ya, semenjak itu, aku tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Bagiku cinta hanyalah kata yang bermakna hitam. Tak mau lagi aku mengenal cinta.
Tapi, itu semua mulai berubah saat aku bertemu denganmu, lelaki hari Kamis.

***
Kamis pertama
Kita tak saling mengenal. Kau duduk di kursi depan sebelah kiri, sementara aku duduk pada bagian tengah dari ruangan itu. Yang kulihat darimu hanya lelaki dengan kemeja hitam dan kacamata bermodel tua. Hanya itu, dan tak lebih. Kita tak pernah saling menatap. Ketika aku melihatmu, kamu selalu terfokus pada lembaran – lembaran buku yang ada dihadapanmu. Saat kita duduk dalam ruangan yang sama itu, sekelibat bayang tentangnya masih datang dalam benak ini. Dia yang membuatku tersenyum, dia yang membuatku menangis, dan dia yang membuatku terdiam dalam kehampaan. Begitulah, sama sekali tiada arti yang begitu mendalam di Kamis pertama... Semuanya yang ada dalam pikiran ini masih tentang dia sepenuhnya. Dan kau belum mendapatkan ruang dalam diri ini.

Kamis kedua.
Mungkin sudah takdir kita untuk saling berbicara dan menatap di Kamis kedua ini. Kamu, sebagai dosen muda yang memegang kelompokku, duduk manis di depan sambil tersenyum. Kemudian, kau perkenalkan namamu pada kami semua. Setelah lama – lama kupandangi dirimu, muncullah sebuah pendapat bahwa ternyata dirimu manis juga. Baik ketika kau diam, berbicara, ataupun tersenyum, ada kharisma yang menarikku untuk tak hentinya menatap dirimu. Sengaja aku mengajukan beberapa pertanyaan padamu agar aku bisa mendapat momen berdua denganmu, dan aku mendapatkan momen emas itu. Dirimu pintar, dan itu nilai yang sangat positif di mataku. Kamu menjawab semua pertanyaanku dengan jelas. Belum lagi, kamu menerangkannya pertanyaan – pertanyaan itu dengan nada yang menenangkan. Tanpa kusadari, denyut jantungku berdegup kencang. Aku menjadi gugup tatkala kau berada di dekatku dan mencoba memanggil namaku. Rasa yang pernah kurasakan padanya kini muncul untukmu. Aku merasa... Cinta kembali menyapa mesra diri ini. Bisa kukatakan bahwa, aku tertarik padamu. Bahkan seharian itu, tak pernah bayangnya datang menghampiri jiwa ini. Tidak, bayangmu mulai mengusir bayangnya dan mengambil tempat di salah satu titik sudut hati ini. Apa lagi, kamu bersikap ramah pada semua orang. Sikap dan kepribadianmulah yang menjadi titik puncak keyakinan bahwa, cinta mulai tumbuh atas dasar dirimu. Kamis menjadi... hari yang kunanti. Karena hanya pada hari itulah kita dapat bertemu satu sama lain.

Kamis ketiga.
Kita masih berada dalam satu ruangan yang sama, namun terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Kamu di kanan, dan aku di kiri. Tapi setidaknya, aku masih bisa mencuri – curi kecil untuk menatapmu diam – diam. Pernah suatu ketika, kita saling bertemu tatap. Sayangnya, aku tak dapat bersikap biasa saja. Aku langsung membuang pandanganku. Aku malu. Tak berapa lama kemudian kau berjalan ke daerah di mana aku berada. Aku salah tingkah. Aku berusaha untuk tidak tersenyun, tapi bibir memaksaku untuk tersenyum. Pernah kita berbicara walau hanya satu dua kalimat yang terucap. Aku tidak menyangka ternyata kamu masih mengingat namaku dengan jelas. Ah... rasanya bahagia sekali saat – saat itu.

Kamis keempat.
Kamu kembali. Kamu kini menjadi pendamping dalam kelompok kecilku. Semakin lama aku semakin sering berbicara kepadamu. Walau yang hanya kita bicarakan seputar pelajaran saja, tetapi senyum sudah tertera dibibir ini secara otomatis. Apalagi satu waktu, ketika aku bertanya dan kamu menjawab, kamu memegang pundakku. Nada suaramu yang lembut dan tatapan matamu yang sendu membuat aku luluh hati padamu. Selama kegiatan yang kurasakan adalah bahagia. Namun, itu semua terpatahkan tatkala temanku bercanda padamu untuk memberikan sebongkah bunga mawar dan kamu berkata, “ Maaf, bunga itu jangan kamu beri kepada saya. Saya sudah sada yang punya...,“. Aku terdiam, terpaku dengan kalimat itu, dan tertunduk. Ah... ternyata dia sudah memiliki sang penjaga hatinya. Wajar saja, ia lelaki yang baik. Ia lelaki yang pintar dan memiliki sisi kelembutan yang selama ini kucari. Rasanya, memang tidak mungkin jika ia tidak memiliki kekasih.
Temanku yang menyadari sikapku langsung datang dan berkata, “ Sabar ya... “ Aku hanya tersenyum kecil dan kembali menundukkan kepalaku. Aku menarik nafas sedalam – dalamnya dan menghebuskannya sekuat mungkin, ya, seiringan dengan kubuang rasa ini. Saat hendak meninggalkan ruangan, aku menatap dirinya sekali lagi. Beruntung saat itu kami tidak saling menatap, sehingga ada waktuku untuk ternyum dan berkata dalam keheningan, selamat tinggal. Dalam hati aku berterima kasih padanya karena telah membiarkanku menjalani pengalaman singkat dalam mencintainya. Walau hanya empat kamis dan dapat dibilang rasa ini singgah hanya untuk sementara, memori yang telah ada akan kukenang selamanya...