Saturday, 30 June 2018

[Puisi] - Selasa, 06 Oktober 2015

Selasa, 06 Oktober 2015

Satu jam...
Sebentar lagi hari akan berganti.
Sudah dua cangkir kopi untuk malam ini.
Apakah harus ada yang ketiga ?
Tidak. Kurasa dua saja sudah cukup.
Menatap ke langit, berharap ada bintang jatuh hari ini.
Kemudian kembali duduk untuk melanjutkan apa yang sebelumnya dikerjakan.

Lagu pertama.
Berlanjut ke lagu kedua.
Dan kemudian berhenti di lagu kedelapan.

Lagu antara aku dan dia.

Yang sudah lama kucoba untuk mengubur bayangnya...

Namun, bayang dia, jiwa yang berbeda, justru muncul di dalam pikiranku...

Aku jatuh hati padanya...

Tetapi...

Aku takut untuk jatuh cinta
Aku takut untuk menaruh rasa
Aku takut untuk menyakinkan diriku bahwa aku mencintainya

Karena aku takut, kalau akhirnya cerita yang tertulis di atas kertas hitam ini akan sama saja...

Kuganti lagu itu.
Aku berdiri dari tempat duduk ku...

Ada baiknya di malam yang dingin ini aku ditemani oleh hangatnya secangkir kopi ketiga
Agar aku bisa mengingat kembali hangatnya ketika aku jatuh cinta...


Cynzgreen, 06 - 10 -2015

Saturday, 23 June 2018

[Cerpen] - Bisikan Semu

Bisikan Semu
Karya : Cynthia Novelia
 
Rasanya, baru semalam aku berjumpa denganmu. Kini, rasa rindu datang setiap harinya. Sakit yang begitu menyiksa selalu terasa di sekujur tubuh ini. Tetapi, yang lebih memerihkan adalah ketika kumengetahui hanya akulah yang merindu itu. Ya, hanya diriku.
Ingin rasanya aku bertemu denganmu. Inginku tanyakan segala pertanyaan yang tersimpan rapi selama ini di dalam hati . Ada rasa perih ketika aku menahan segala rasa penasaranku padamu. Tapi, apa daya, aku hanya bisa berdiam diri. Waktu yang belum mempertemukan kita kembali membuat aku hanya bisa membisu. Tetapi, jikalau kita bertemu kembali, aku merasa... lebih baik aku digerogoti rasa sakit dari rasa ingin tahuku ini daripada aku mengetahui kebenaran yang ada. Kebenaran yang sebenarnya sudah terjawab jauh sebelum aku... aku... jatuh hati padamu. Jawaban yang akan engkau berikan adalah... tidak, bukan ? Kuberharap, seiring bertahannya gejolak di dada ini, perlahan rasa ini akan menghilang di telan waktu. Cukup... cukup sampai di sini. Aku pesimis akan rasaku kepadamu. Yang membuatku semakin pesimis adalah perbedaan di antara kita. Perbedaan itulah yang membuatku sadar akan diri ini bahwa kita tidak akan pernah bersatu. Ya, tidak akan pernah.
Kubisikkan keluh kesahku ini pada angin yang membelai lembut jemari – jemariku.  Meski terasa dingin, namun itu semua melegakan dada ini yang penat akan menyimpan rasa yang sudah bertahan lama.  Rerumput pun seakan menari untuk menghibur diriku. Aku tersenyum, merebahkan diriku pada mereka, menatap langit untuk sesaat dan kemudian tertidur dalam hangatnya mentari senja.

Dan semuanya Kutulis ketika rintik hujan menyapa manis sang bumi Minggu.

Saturday, 16 June 2018

[Cerpen] - Secangkir Kopi Hangat

Secangkir Kopi Hangat
Karya : Cynthia Novelia


Sudah lebih dari seribu kali rasanya aku melihat ke arah jam tanganku. Sosok yang kutunggu masih tidak kunjung datang. Sudah dua gelas teh hijau hangat kuteguk hingga tetes terakhir, ia masih saja belum menampakkan batang hidungnya. Memang, ia tidak bisa kusalahkan sepenuhnya. Siapa yang tidak mengenal Jakarta dan macet ?

***

“ Maaf, sudah menunggu lama ya ? Maaf, biasa... “
“ Ah, untung akhirnya kamu datang. Sebagai gantinya traktir aku ya, termasuk dua gelas teh hijau ini. “
Ia tertawa, “ Oke boss, siap ! ” Dia menyisir rambutnya dengan tangan dan kemudian lanjut berbicara,” Sudah pesan kopi hangat kesukaan kita, kan ? “
Aku mengangguk, “ Iya, saat kamu sudah di depan pintu, aku langsung memesannya.
“ Terima kasih, “ Ia tersenyum.

***

Ia , orang yang kunantikan tadi, adalah Miranda. Orangnya manis, cantik, sawo matang kulitnya. Beruntungnya ia bisa mengenyam pendidikan di negeri yang terkenal dengan binatang kangguru dan koala.  Tidak tanggung, jurusannya adalah kedokteran.
Aku dilahirkan dengan nama Renata, namun aku lebih dikenal dengan nama panggilanku, Rara. Aku juga kuliah di jurusan yang sama dengan Miranda.
Ia menurutku jauh lebih menarik. Mungkin kelebihanku secara fisik hanyalah aku lebih tinggi saja dari dia.
Kami sudah bersahabat sejak SMP. Kami sama – sama berjuang dalam mewujudkan cita – cita kami. Saling membantu dan menyemangati. Bisa dibilang ia adalah salah satu sahabat terbaikku.

***
Kedai kopi ini adalah tempat favorit kami berdua. Kerap kali kami datang bersama untuk belajar, mengerjakan tugas, atau sekedar berbincang ria. Masing – masing kami selalu memesan secangkir kopi hangat agar tidak mengantuk dan tetap bersemangat. Walau harganya cukup mahal, cita rasa yang diberikan sebanding dengan lembaran rupiah yang diberikan. Kedai kopi inilah yang kami pilih menjadi tempat pertemuan kami setelah setahun lamanya tidak berjumpa.

***
“ Ah... rasanya masih nikmat seperti dulu. Rindu, deh... “
“ Iya... aku sering minum sendirian di sini semenjak kamu pergi. Rasanya ada yang kurang kalau tidak ada kamu. Hahahahaha. “
“ Bisa aja. Eh, Ra, aku mau cerita deh sama kamu. Aku punya kabar gembira ! Akhirnya, aku jadian ! “
Aku ikut senang mendengar kabar ini. Akhirnya, Miranda jadian juga. Kalau aku jadi dia, mungkin sekarang mantanku sudah harus dihitung dengan bantuan jemari kakiku. Tipe yang Miranda suka itu memang selera yang tinggi. Mungkin karena itu juga ia sulit bertemu dengan orang yang tepat untuk dirinya. Walau aku begini,mantanku sudah dua, dan sekarang sedang menjalin cerita cinta dengan dia yang ketiga. Sedangkan Miranda bary yang pertama kali.
“ Dia itu selera aku banget. Dia anak teknik. Teknik geologi, Ra ! Rambutnya gondrong, aduh, makin kelihatan laki banget deh..! ”
Sambil tertawa aku mengangguk setuju. Sama dengan tipeku. Anak teknik, gondrong, dan macho.
“ Kami kenalan enam bulan yang lalu. Kami bertemu di airport. Ia yang mengajakku berkenalan. Ia ke sana unuk mengantar kakaknya yang kuliah s2 di Jerman. Beasiswa, lho. Keren gak ? Sambil menunggu pesawatku, akhirnya kami makan siang bersama. Sejak saat itu kami selalu menghubungi satu sama lain, sampai seminggu kemarin akhirnya dia nembak aku ! “
Aku terdiam sejenak. Rasanya, ada yang aneh dari ceritanya. Tetapi, aku berusaha untuk tetap diam dan tersenyum.
“ Wah, kamu pasti suka sekali sama dia. “ Ucapku untuk mengisi kekosongan.
“ Iya, apalagi dia sama seperti kita, Ra. Ia suka fotografi juga. “
Perasanku semakin tidak enak. Melihat wajahku yang berubah menjadi gusar membuat Miranda bertanya akan hal itu.
“ Ada apa, Ra ? “
“ Ah, nggak. Nggak ada apa – apa. “ Aku mencoba menjauhi asumsi negatifku saat itu. Secangkir kopi yang biasanya kuteguk perlahan kini langsung kuhabiskan dengan sekali teguk. Miranda semakin heran dengan sikapku.
“ Kamu gak suka, ya ? Dia baik kok. Aku jamin dia gak bakalan nyakitin aku. Kamu gak usah khawatir. “
“ Tapi aku khawatir... “ Kemudian hening pun menghampiri kami. Aku kemudian melanjutkan kalimatku, “ Aku khawatir dan ragu. Maaf. “ Aku menarik nafasku dalam – dalam. Kuberanikan diriku untuk bertanya pada Miranda, “ Siapa namanya, Mir ? “
“ Alexander, Ra. Ini fotonya, Ra. “ Ia mengeluarkan dompetnya. Terlihat jelas wajah lelaki itu. Ia tengah memeluk mesra Miranda dari belakang.
“ Dia akan menyakitimu, Mir. Putuskan lelaki itu sekarang ! “ Kataku dengan sedikit membentak.
“ Apa – apaan sih kamu ! Gak senang lihat sahabat senang ? Gak usah bentak juga deh, Ra. “ Kini giliran Miranda yang menghabiskan secangkir kopi itu dengan sekali tegukan.
“ Maaf. Aku sedikit membentak. “ Kuturunkan nada suaraku. “ Ia telah menyakiti aku, Mir. Ia juga kekasihku dan kami jadian dua minggu yang lalu. “ Aku mengeluarkan fotoku dengan Alexander. Di foto itu, aku tengah bersandar di pundaknya dan dia membelai rambutku.
“ Aku juga akan memutuskannya hari ini juga. “, lanjutku.
Kami berdua terdiam setelahnya dan sama – sama menahan tangis. Kami berdua lalu berpelukan dan kemudian merintikkan air mata di pundak sahabatnya. 

Saturday, 9 June 2018

[Cerpen] - Sabar

Sabar
Karya : Cynthia Novelia

Bersabarlah kasih. Hanya sesaat kita berpisah. Secepatnya, kuusahakan segenap jiwa ragaku, aku akan  kembali dihadapanmu. Bersabarlah...

***

Cintaku, bukan kita yang berkehendak. Takdir pun dapat berbicara. Walau hati ingin menerjang segala badai yang menghadang, tapi kita hanyalah dua insan manusia yang bisa berupaya. Segala jawaban ada padaNya. Tetapi ingatlah suatu hal, sedalam – dalamnya cintaku, tak akan pernah terusik oleh apa pun.

Kata hanyalah perantara dari rasa yang kita miliki. Tetapi tindakan adalah tanda nyata cinta kita berdua. Aku menginginimu, dan kau pun begitu. Kuharap selamanya akan begini.

Jika boleh aku memilih, aku ingin tetap mendengar harmoni kata – kata cinta putih dari kedua bibirmu. Ingin selalu kulihat lukisan surgawi yang terpancar dari kedua bola matamu. Aku merindu akan aroma tubuhmu, kasih. Aku rindu semuanya.

Namun, kalau kita memang harus berpisah, bersabarlah, aku berjanji akan melindungimu, mendoakanmu, dan menunggumu di depan gerbang dunia nyata.Selamanya, aku dan dirimu tetaplah satu.

Dari jiwa yang selalu memujamu, Rio Baskara.

***

Kertas - kertas surat itu sudah termakan usia. Lebih dari seribu kali Tania membaca surat itu. Hari ini, tahun keempat surat itu berada di tangan Tania. Surat yang sudah banyak menampung air matanya. Surat yang sangat berharga. Surat dari kekasihnya yang lebih dulu mendahuluinya ke alam sana.

Tania memandang langit yang pada hari itu mengikuti rasa hatinya. Sendu. Rerintik air hujan tak membuatnya bergeming untuk berjalan ke makam Rio. Ya, hari ini tepat hari di mana Rio meninggalkan dirinya. Dalam hati Tania percaya, ia meninggalkan dirinya hanya sementara. Ia percaya suatu saat Rio akan menjemputnya untuk hidup bahagia bersama selamanya.

“ Selamat siang, Cinta.” Sapanya pada batu nisan yang terdiam kaku.

Hembusan angin menerpa wajahnya. “Rio, pasti lelaki itu”  batinnya sembari tersenyum. Tania membawakan sebuah rangkaian bunga Almond merah mudah. Pengharapan, itulah makna yang ada pada bunga kesukaannya itu. Harapannya pada kisah cinta ini sungguh besar. Karena gadis inilah yang mengenalkannya pada cinta untuk pertama kalinya.

“ Kamu siap untuk melangkah bersamaku? Langkahku tak akan pernah seperti serdadu menjelang perang. Aku tak kan pernah bisa menjadi mentari fajar ataupun purnama dalam kegelapan. Karena aku sadar diri, aku terbatasi oleh raga yang tak sempurna. Yang bisa kuberi hanya cinta. “ Rio menatap mata Tania lekat – lekat. Tangannya menggenggam tangan Tania. Terasa getaran tubuhnya menjalar ke tubuh Tania. Tania mengeratkan genggaman itu dan membalas tatapan itu dengan lembut.

“ Aku tak butuh kau menjadi seseorang yang bukan dirimu, karena yang kucintai adalah dirimu. Maka jadilah dirimu yang seutuhnya. Aku jugalah bukan manusia yang sempurna. Dengan kasih yang kita miliki, kita mampu menyempurnakan langkah – langkah kehidupan kita. Pengorbanan adalah bukti kekuatan cinta kita. Dan pengharapan akan datang dengan sendirinya. Percayalah, keajaiban masih ada di dunia ini. “

Seusai mendengar itu, Rio dengan segerah merengkuh tubuh yang mungil itu untuk berlabuh dalam pelukannya. Malam yang hangat, malam yang istimewa.

“ Terima kasih sudah mau menjadi bagian dari hidupku. “ Bisik Rio lirih di telinga kanannya.
Tania membalasnya dengan mengeratkan pelukkan.

***

Sudah menjadi resikonya mencintai raga yang mengidap hemofilia. Rentan dengan sebuah kata ‘perpisahan selamanya’. Tetapi cinta menepis rasa takut. Ia sungguh mengasihi Rio. Di pandanginya foto di mana mereka berdua saling menatap lembut. Jemari saling mengikat satu sama lain. Tak sadar ia perlahan merintikkan air mata.

“ Masih belum bisa move on? “ Tanya Ratna yang tengah mengemudikan mobil. “ Untung aku tahu kamu di sana. Semua pada mencari kamu. Termasuk Angga. Hari ini kan hari temu keluarga. Kalian besok mau bertunangan, kan? “

Tania hanya terdiam.

“ Coba kamu pikir, deh. Angga itu kurangnya apa? Dia baik, dia rupawan, kaya, dan dia mencintaimu. Kalau aku jadi kamu, aku sudah menerima lamarannya. “ Ratna kemudian melihat apa yang dilakukan sahabatnya. Ternyata sahabatnya masih memandangi sebuah gambar nostalgia cintanya. Terlihat sama sekali tak ada niatnya untuk beradu argumen dengan Ratna.

“ Sekarang aku mengerti mengapa orang tua mu sedikit memaksamu untuk bertunangan dengan Angga. Lihatlah dirimu. Aku kalau menjadi orang tuamu pun pasti sama cemasnya. Hei, Tan. Kamu ini cantik, pintar, baik. Apakah kamu mau membuang hidupmu hanya untuk berlarut dalam kesedihan masa lalu? “

“ Turunkan aku. “ Kata Tania dengan kata dingin.

“ Tidak. Apa kamu sudah gila? Jalanan ini sepi. Hari sudah mulai gelap. Tidak akan mungkin aku membahayakan dirimu. “

Tania diam. Tidak menjawab. Ia dan Ratna tiba dirumahnya. Semua orang yang sudah menunggunya berhamburan keluar rumah. Mereka memeriksa keadaan Tania. Untung keadaan gadis ini baik – baik saja. Semua pertanyaan yang keluar tak lebih sama: Dari mana gadis ini? Tania bungkam seribu bahasa. Bahkan Angga yang sudah sangat lembut bertanya padanya tidak diusik sedikit pun. Ratna pun diserbu dengan pertanyaan yang sama. Dengan sangat terpaksa, Ratna berdusta. Ia mengatakan kalau ia menemukan Tania di kafe kesukaan mereka bedua. Dengan sedikit terkejut, Tania langsung memandangi Ratna. Ratna menatapnya kembali dengan tersenyum. Dengan bahasa bisu, Tania mengucapkan terima kasih. Ratna mengangguk pelan.

Kini hanya ada Ratna dan dirinya di dalam kamar. Sudah tergantung sebuah gaun cantik berwarna biru muda untuk dikenakannya pada esok hari.

“ Cobain dulu gaunnya.“

Tania menggeleng. Air mukanya berubah. Terlihat jelas kalau ia enggan membicarakan hari tentang esok. Ratna menghirup nafas sedalam – dalamnya, lalu mengembuskannya pelan – pelan. Ia kini harus bersabar dengan sahabatnya. Padahal dulu keadaan berbalik. Tanialah yang harus bersabar dengan sikapnya.

“ Ada apa? Cerita sama aku. “

Tania memandang lekat – lekat mata sahabatnya. Ada terbesit rasa kepercayaan pada Ratna. Hanya saja, ia masih sedikit ragu untuk menceritakan semuanya. Ratna mengerti. Lalu ia berkata, “ Hanya ada aku dan kamu. Aku janji. “ Tania kemudian menghela nafasnya, lalu memeluk Ratna.
“ Terima kasih Rat... “ Kemudia terasa sebuah anggukan di pundak kiri Tania.

Tania menceritakan bagaimana ia dan Rio bertemu. Bagaimana ia merasakan makna kehidupan dan cinta ketika ia bersama Rio, dan ia merasakan perubahan yang positif ketika ia menjalin kasih dengan Rio. Rio dan Angga dulu bersahabat. Inilah yang Ratna belum ketahui sama sekali. Angga dulu sempat tidak setuju dengan hubungannya dan Rio. Ia bahkan memfitnah Tania. Namun kepercayaan dipegang teguh oleh Rio pada dirinya.

Tetapi setelah Rio berpulang, Angga datang. Ia mengatakan bahwa ia mencintai Tania. Tentu saja Tania enggan memercayainya dengan bukti apa yang telah ia perbuat selama ini. Pengkhianat persahabatan. Munafik. Bagaimana bisa ia menjadi seseorang yang berwatakan seperti itu menjadi bagian dari tubuh dan jiwanya? Tania menggeleng. Serentetan cerita tentang gelapnya Angga membuat Ratna terdiam sejenak.

“ Aku baru tahu... Ternyata Angga seperti itu. “

“ Bantu aku... “ Ucap Tania lirih.

“ Hari ini aku akan menginap di sini bersamamu. Tepat jam tiga pagi, kita berdua kabur. “
Tania mengangguk. Ia tersenyum.

“ Terima kasih Ratna. Maafkan jika aku ada salah padamu. Sungguh kamu sahabat yang sangat berarti dalam hidupku. “

Ratna menatap Tania, lalu memeluk hangat tubuh Tania yang mungil

***

Jemput aku segera. Bawalah diriku ke nirwanamu. Buatlah aku bahagia disampingmu. Dalam surga, aku dapat bernafas dengan nyawa. Aku bisa menari – nari seperti burung – burung di angkasa. Tak ada lagi luka, hanya kebahagiaan yang ada. Dan aku ingin melakukannya bersamamu, kasihku.

***

Ratna mengusap kedua matanya. Ia terbangun. Alaram telah berbunyi. Jarum jam tepat menunjuk angka tiga dan dua belas. Dengan segera ia membangkitkan tubuhnya. Dilihatnya sekeliling kamar itu. Tampaklah Tania tengah mengenakan gaun putih. Cantik, itulah kata pertama yang terbesit dalam benak Ratna.

“ Ngapain pakai gaun, Tan? “ tanyanya. Ratna masih mengumpulkan nyawanya.

“ Aku akan menikah. Doakan ya. “

“ Apa ? “ dengan sempoyongan ia berjalan mendekati Tania.

“ Sudah lupakan. Ini kunci mobilnya. Ayo kita berangkat sekarang. Jika tidak, aku akan terlambat. “
Ratna sesungguhnya bingung dengan ucapan – ucapan Tania pada pagi itu. Namun, ia tidak begitu mengusiknya. Ia mengira, bahwa dirinyalah yang belum begitu tiba dari dunia mimpi ke dunia nyata.
Mereka mengendap – endap keluar dari rumah. Tampak, pamannya Ratna tengah tertidur di sofa ruang tamu. Semakin berhati – hatilah mereka. Usaha mereka berhasil. Mereka keluar dari rumah itu diringi dengan rintik hujan fajar. Mobil mereka melaju dengan kecepatan yang tidak begitu tinggi. Ratna bertanya, ke manakah arah yang mereka akan tuju. Tania menjawab,

“ Bawalah aku ke rumahNya. “

“ Kamu kenapa sih, Tan? Dari tadi aneh gini. “ Ratna menatap dalam sahabatnya itu.

Ratna heran. Kali ini ia yakin, bahwa bukan dirinyalah yang setengah berhalusinasi. Tania memang berbeda. Dilihatnya Tania mengeluarkan beberapa surat yang terbungkus rapi di dalam amplopnya. Warna biru muda, warna kesukaannya. Tania berpesan kepada Ratna untuk memberikan surat – surat ini kepada orang tuanya. Ia menitipkan maaf dan mengatakan bahwa ia sangat menyayangi mereka.

“ Tan. Kamu jangan aneh gini deh. “ Dipandanginya Tania. Tania menatapnya balik.

“ Aku sayang kamu, Ratna. Terima kasih ya. “

“ Tan... Jangan gini deh.. “ Lalu Ratna kembali menghadapkan pandangannya ke depan. “ Rio?! “. Tampaklah Rio di depan mobilnya mengenakan jas putih . Ia membelokkan stir mobilnya, lalu semuanya gelap.

***

Cintaku, surgawi hidupku. Kini tak ada lagi batas semu diantara cinta kita berdua.  Tak ada lagi jarak yang memisahkan diriku dan dirimu. Tak ada lagi kata rindu yang terucap. Cukup sudah sabar yang kini merasuk di jiwa kita berdua. Karena kini, kita sungguh satu.

***

Ratna bersimpuh manis di depan rumah terakhir sahabatnya itu. Ia tersenyum. Dan meletakkan setangkai bunga Allium yang berarti Kesatuan. Kemudian ia melihat ke sebelah kirinya. Ya, tempat itu lah tempat peristirahatan Rio untuk terakhir kalinya. Diletakkannya sebuah surat disertai pot dengan bunga Azalea di atas rerumput terakhir Rio.

“ Selamat jalan, sahabat dan cinta pertamaku. Kuberharap kalian berbahagia bersama di nirwana sana. “

Kemudian Ratna berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan kehidupannya yang kini semakin terasa hampa...

***

Di bawah langit sendu aku menulis surat ini padamu. Gemercik hujan tak kuhiraukan sedikit pun. Telah lama kumemendam rasa ini. Namun aku sadar, ada suara yang menyapamu manja. Ada yang bersandar mesra di pundakmu. Dan ada yang membelai lembut hatimu. Selamanya rasa ini tak akan pernah terbalasakan. Aku sadar. Karena ia juga seorang sahabat yang kuimpikan. Sesosok sahabat yang sungguh seorang sahabat. Biarlah aku sendiri yang tenggelam dalam rasa ini. Selagi engkau dan dia berbahagia, aku pun juga akan bahagia.

Terima kasih telah menyisihkan sisa ruang dihatimu untuk diriku. Walau terbatas dalam kata ‘sahabat’ .

Dari yang mencintaimu, yang sudah mengasihimu ketika rintik hujan pertama kita bertemu, Ratna Putri.

Saturday, 2 June 2018