Saturday, 16 June 2018

[Cerpen] - Secangkir Kopi Hangat

Secangkir Kopi Hangat
Karya : Cynthia Novelia


Sudah lebih dari seribu kali rasanya aku melihat ke arah jam tanganku. Sosok yang kutunggu masih tidak kunjung datang. Sudah dua gelas teh hijau hangat kuteguk hingga tetes terakhir, ia masih saja belum menampakkan batang hidungnya. Memang, ia tidak bisa kusalahkan sepenuhnya. Siapa yang tidak mengenal Jakarta dan macet ?

***

“ Maaf, sudah menunggu lama ya ? Maaf, biasa... “
“ Ah, untung akhirnya kamu datang. Sebagai gantinya traktir aku ya, termasuk dua gelas teh hijau ini. “
Ia tertawa, “ Oke boss, siap ! ” Dia menyisir rambutnya dengan tangan dan kemudian lanjut berbicara,” Sudah pesan kopi hangat kesukaan kita, kan ? “
Aku mengangguk, “ Iya, saat kamu sudah di depan pintu, aku langsung memesannya.
“ Terima kasih, “ Ia tersenyum.

***

Ia , orang yang kunantikan tadi, adalah Miranda. Orangnya manis, cantik, sawo matang kulitnya. Beruntungnya ia bisa mengenyam pendidikan di negeri yang terkenal dengan binatang kangguru dan koala.  Tidak tanggung, jurusannya adalah kedokteran.
Aku dilahirkan dengan nama Renata, namun aku lebih dikenal dengan nama panggilanku, Rara. Aku juga kuliah di jurusan yang sama dengan Miranda.
Ia menurutku jauh lebih menarik. Mungkin kelebihanku secara fisik hanyalah aku lebih tinggi saja dari dia.
Kami sudah bersahabat sejak SMP. Kami sama – sama berjuang dalam mewujudkan cita – cita kami. Saling membantu dan menyemangati. Bisa dibilang ia adalah salah satu sahabat terbaikku.

***
Kedai kopi ini adalah tempat favorit kami berdua. Kerap kali kami datang bersama untuk belajar, mengerjakan tugas, atau sekedar berbincang ria. Masing – masing kami selalu memesan secangkir kopi hangat agar tidak mengantuk dan tetap bersemangat. Walau harganya cukup mahal, cita rasa yang diberikan sebanding dengan lembaran rupiah yang diberikan. Kedai kopi inilah yang kami pilih menjadi tempat pertemuan kami setelah setahun lamanya tidak berjumpa.

***
“ Ah... rasanya masih nikmat seperti dulu. Rindu, deh... “
“ Iya... aku sering minum sendirian di sini semenjak kamu pergi. Rasanya ada yang kurang kalau tidak ada kamu. Hahahahaha. “
“ Bisa aja. Eh, Ra, aku mau cerita deh sama kamu. Aku punya kabar gembira ! Akhirnya, aku jadian ! “
Aku ikut senang mendengar kabar ini. Akhirnya, Miranda jadian juga. Kalau aku jadi dia, mungkin sekarang mantanku sudah harus dihitung dengan bantuan jemari kakiku. Tipe yang Miranda suka itu memang selera yang tinggi. Mungkin karena itu juga ia sulit bertemu dengan orang yang tepat untuk dirinya. Walau aku begini,mantanku sudah dua, dan sekarang sedang menjalin cerita cinta dengan dia yang ketiga. Sedangkan Miranda bary yang pertama kali.
“ Dia itu selera aku banget. Dia anak teknik. Teknik geologi, Ra ! Rambutnya gondrong, aduh, makin kelihatan laki banget deh..! ”
Sambil tertawa aku mengangguk setuju. Sama dengan tipeku. Anak teknik, gondrong, dan macho.
“ Kami kenalan enam bulan yang lalu. Kami bertemu di airport. Ia yang mengajakku berkenalan. Ia ke sana unuk mengantar kakaknya yang kuliah s2 di Jerman. Beasiswa, lho. Keren gak ? Sambil menunggu pesawatku, akhirnya kami makan siang bersama. Sejak saat itu kami selalu menghubungi satu sama lain, sampai seminggu kemarin akhirnya dia nembak aku ! “
Aku terdiam sejenak. Rasanya, ada yang aneh dari ceritanya. Tetapi, aku berusaha untuk tetap diam dan tersenyum.
“ Wah, kamu pasti suka sekali sama dia. “ Ucapku untuk mengisi kekosongan.
“ Iya, apalagi dia sama seperti kita, Ra. Ia suka fotografi juga. “
Perasanku semakin tidak enak. Melihat wajahku yang berubah menjadi gusar membuat Miranda bertanya akan hal itu.
“ Ada apa, Ra ? “
“ Ah, nggak. Nggak ada apa – apa. “ Aku mencoba menjauhi asumsi negatifku saat itu. Secangkir kopi yang biasanya kuteguk perlahan kini langsung kuhabiskan dengan sekali teguk. Miranda semakin heran dengan sikapku.
“ Kamu gak suka, ya ? Dia baik kok. Aku jamin dia gak bakalan nyakitin aku. Kamu gak usah khawatir. “
“ Tapi aku khawatir... “ Kemudian hening pun menghampiri kami. Aku kemudian melanjutkan kalimatku, “ Aku khawatir dan ragu. Maaf. “ Aku menarik nafasku dalam – dalam. Kuberanikan diriku untuk bertanya pada Miranda, “ Siapa namanya, Mir ? “
“ Alexander, Ra. Ini fotonya, Ra. “ Ia mengeluarkan dompetnya. Terlihat jelas wajah lelaki itu. Ia tengah memeluk mesra Miranda dari belakang.
“ Dia akan menyakitimu, Mir. Putuskan lelaki itu sekarang ! “ Kataku dengan sedikit membentak.
“ Apa – apaan sih kamu ! Gak senang lihat sahabat senang ? Gak usah bentak juga deh, Ra. “ Kini giliran Miranda yang menghabiskan secangkir kopi itu dengan sekali tegukan.
“ Maaf. Aku sedikit membentak. “ Kuturunkan nada suaraku. “ Ia telah menyakiti aku, Mir. Ia juga kekasihku dan kami jadian dua minggu yang lalu. “ Aku mengeluarkan fotoku dengan Alexander. Di foto itu, aku tengah bersandar di pundaknya dan dia membelai rambutku.
“ Aku juga akan memutuskannya hari ini juga. “, lanjutku.
Kami berdua terdiam setelahnya dan sama – sama menahan tangis. Kami berdua lalu berpelukan dan kemudian merintikkan air mata di pundak sahabatnya. 

No comments:

Post a Comment