Saturday 9 June 2018

[Cerpen] - Sabar

Sabar
Karya : Cynthia Novelia

Bersabarlah kasih. Hanya sesaat kita berpisah. Secepatnya, kuusahakan segenap jiwa ragaku, aku akan  kembali dihadapanmu. Bersabarlah...

***

Cintaku, bukan kita yang berkehendak. Takdir pun dapat berbicara. Walau hati ingin menerjang segala badai yang menghadang, tapi kita hanyalah dua insan manusia yang bisa berupaya. Segala jawaban ada padaNya. Tetapi ingatlah suatu hal, sedalam – dalamnya cintaku, tak akan pernah terusik oleh apa pun.

Kata hanyalah perantara dari rasa yang kita miliki. Tetapi tindakan adalah tanda nyata cinta kita berdua. Aku menginginimu, dan kau pun begitu. Kuharap selamanya akan begini.

Jika boleh aku memilih, aku ingin tetap mendengar harmoni kata – kata cinta putih dari kedua bibirmu. Ingin selalu kulihat lukisan surgawi yang terpancar dari kedua bola matamu. Aku merindu akan aroma tubuhmu, kasih. Aku rindu semuanya.

Namun, kalau kita memang harus berpisah, bersabarlah, aku berjanji akan melindungimu, mendoakanmu, dan menunggumu di depan gerbang dunia nyata.Selamanya, aku dan dirimu tetaplah satu.

Dari jiwa yang selalu memujamu, Rio Baskara.

***

Kertas - kertas surat itu sudah termakan usia. Lebih dari seribu kali Tania membaca surat itu. Hari ini, tahun keempat surat itu berada di tangan Tania. Surat yang sudah banyak menampung air matanya. Surat yang sangat berharga. Surat dari kekasihnya yang lebih dulu mendahuluinya ke alam sana.

Tania memandang langit yang pada hari itu mengikuti rasa hatinya. Sendu. Rerintik air hujan tak membuatnya bergeming untuk berjalan ke makam Rio. Ya, hari ini tepat hari di mana Rio meninggalkan dirinya. Dalam hati Tania percaya, ia meninggalkan dirinya hanya sementara. Ia percaya suatu saat Rio akan menjemputnya untuk hidup bahagia bersama selamanya.

“ Selamat siang, Cinta.” Sapanya pada batu nisan yang terdiam kaku.

Hembusan angin menerpa wajahnya. “Rio, pasti lelaki itu”  batinnya sembari tersenyum. Tania membawakan sebuah rangkaian bunga Almond merah mudah. Pengharapan, itulah makna yang ada pada bunga kesukaannya itu. Harapannya pada kisah cinta ini sungguh besar. Karena gadis inilah yang mengenalkannya pada cinta untuk pertama kalinya.

“ Kamu siap untuk melangkah bersamaku? Langkahku tak akan pernah seperti serdadu menjelang perang. Aku tak kan pernah bisa menjadi mentari fajar ataupun purnama dalam kegelapan. Karena aku sadar diri, aku terbatasi oleh raga yang tak sempurna. Yang bisa kuberi hanya cinta. “ Rio menatap mata Tania lekat – lekat. Tangannya menggenggam tangan Tania. Terasa getaran tubuhnya menjalar ke tubuh Tania. Tania mengeratkan genggaman itu dan membalas tatapan itu dengan lembut.

“ Aku tak butuh kau menjadi seseorang yang bukan dirimu, karena yang kucintai adalah dirimu. Maka jadilah dirimu yang seutuhnya. Aku jugalah bukan manusia yang sempurna. Dengan kasih yang kita miliki, kita mampu menyempurnakan langkah – langkah kehidupan kita. Pengorbanan adalah bukti kekuatan cinta kita. Dan pengharapan akan datang dengan sendirinya. Percayalah, keajaiban masih ada di dunia ini. “

Seusai mendengar itu, Rio dengan segerah merengkuh tubuh yang mungil itu untuk berlabuh dalam pelukannya. Malam yang hangat, malam yang istimewa.

“ Terima kasih sudah mau menjadi bagian dari hidupku. “ Bisik Rio lirih di telinga kanannya.
Tania membalasnya dengan mengeratkan pelukkan.

***

Sudah menjadi resikonya mencintai raga yang mengidap hemofilia. Rentan dengan sebuah kata ‘perpisahan selamanya’. Tetapi cinta menepis rasa takut. Ia sungguh mengasihi Rio. Di pandanginya foto di mana mereka berdua saling menatap lembut. Jemari saling mengikat satu sama lain. Tak sadar ia perlahan merintikkan air mata.

“ Masih belum bisa move on? “ Tanya Ratna yang tengah mengemudikan mobil. “ Untung aku tahu kamu di sana. Semua pada mencari kamu. Termasuk Angga. Hari ini kan hari temu keluarga. Kalian besok mau bertunangan, kan? “

Tania hanya terdiam.

“ Coba kamu pikir, deh. Angga itu kurangnya apa? Dia baik, dia rupawan, kaya, dan dia mencintaimu. Kalau aku jadi kamu, aku sudah menerima lamarannya. “ Ratna kemudian melihat apa yang dilakukan sahabatnya. Ternyata sahabatnya masih memandangi sebuah gambar nostalgia cintanya. Terlihat sama sekali tak ada niatnya untuk beradu argumen dengan Ratna.

“ Sekarang aku mengerti mengapa orang tua mu sedikit memaksamu untuk bertunangan dengan Angga. Lihatlah dirimu. Aku kalau menjadi orang tuamu pun pasti sama cemasnya. Hei, Tan. Kamu ini cantik, pintar, baik. Apakah kamu mau membuang hidupmu hanya untuk berlarut dalam kesedihan masa lalu? “

“ Turunkan aku. “ Kata Tania dengan kata dingin.

“ Tidak. Apa kamu sudah gila? Jalanan ini sepi. Hari sudah mulai gelap. Tidak akan mungkin aku membahayakan dirimu. “

Tania diam. Tidak menjawab. Ia dan Ratna tiba dirumahnya. Semua orang yang sudah menunggunya berhamburan keluar rumah. Mereka memeriksa keadaan Tania. Untung keadaan gadis ini baik – baik saja. Semua pertanyaan yang keluar tak lebih sama: Dari mana gadis ini? Tania bungkam seribu bahasa. Bahkan Angga yang sudah sangat lembut bertanya padanya tidak diusik sedikit pun. Ratna pun diserbu dengan pertanyaan yang sama. Dengan sangat terpaksa, Ratna berdusta. Ia mengatakan kalau ia menemukan Tania di kafe kesukaan mereka bedua. Dengan sedikit terkejut, Tania langsung memandangi Ratna. Ratna menatapnya kembali dengan tersenyum. Dengan bahasa bisu, Tania mengucapkan terima kasih. Ratna mengangguk pelan.

Kini hanya ada Ratna dan dirinya di dalam kamar. Sudah tergantung sebuah gaun cantik berwarna biru muda untuk dikenakannya pada esok hari.

“ Cobain dulu gaunnya.“

Tania menggeleng. Air mukanya berubah. Terlihat jelas kalau ia enggan membicarakan hari tentang esok. Ratna menghirup nafas sedalam – dalamnya, lalu mengembuskannya pelan – pelan. Ia kini harus bersabar dengan sahabatnya. Padahal dulu keadaan berbalik. Tanialah yang harus bersabar dengan sikapnya.

“ Ada apa? Cerita sama aku. “

Tania memandang lekat – lekat mata sahabatnya. Ada terbesit rasa kepercayaan pada Ratna. Hanya saja, ia masih sedikit ragu untuk menceritakan semuanya. Ratna mengerti. Lalu ia berkata, “ Hanya ada aku dan kamu. Aku janji. “ Tania kemudian menghela nafasnya, lalu memeluk Ratna.
“ Terima kasih Rat... “ Kemudia terasa sebuah anggukan di pundak kiri Tania.

Tania menceritakan bagaimana ia dan Rio bertemu. Bagaimana ia merasakan makna kehidupan dan cinta ketika ia bersama Rio, dan ia merasakan perubahan yang positif ketika ia menjalin kasih dengan Rio. Rio dan Angga dulu bersahabat. Inilah yang Ratna belum ketahui sama sekali. Angga dulu sempat tidak setuju dengan hubungannya dan Rio. Ia bahkan memfitnah Tania. Namun kepercayaan dipegang teguh oleh Rio pada dirinya.

Tetapi setelah Rio berpulang, Angga datang. Ia mengatakan bahwa ia mencintai Tania. Tentu saja Tania enggan memercayainya dengan bukti apa yang telah ia perbuat selama ini. Pengkhianat persahabatan. Munafik. Bagaimana bisa ia menjadi seseorang yang berwatakan seperti itu menjadi bagian dari tubuh dan jiwanya? Tania menggeleng. Serentetan cerita tentang gelapnya Angga membuat Ratna terdiam sejenak.

“ Aku baru tahu... Ternyata Angga seperti itu. “

“ Bantu aku... “ Ucap Tania lirih.

“ Hari ini aku akan menginap di sini bersamamu. Tepat jam tiga pagi, kita berdua kabur. “
Tania mengangguk. Ia tersenyum.

“ Terima kasih Ratna. Maafkan jika aku ada salah padamu. Sungguh kamu sahabat yang sangat berarti dalam hidupku. “

Ratna menatap Tania, lalu memeluk hangat tubuh Tania yang mungil

***

Jemput aku segera. Bawalah diriku ke nirwanamu. Buatlah aku bahagia disampingmu. Dalam surga, aku dapat bernafas dengan nyawa. Aku bisa menari – nari seperti burung – burung di angkasa. Tak ada lagi luka, hanya kebahagiaan yang ada. Dan aku ingin melakukannya bersamamu, kasihku.

***

Ratna mengusap kedua matanya. Ia terbangun. Alaram telah berbunyi. Jarum jam tepat menunjuk angka tiga dan dua belas. Dengan segera ia membangkitkan tubuhnya. Dilihatnya sekeliling kamar itu. Tampaklah Tania tengah mengenakan gaun putih. Cantik, itulah kata pertama yang terbesit dalam benak Ratna.

“ Ngapain pakai gaun, Tan? “ tanyanya. Ratna masih mengumpulkan nyawanya.

“ Aku akan menikah. Doakan ya. “

“ Apa ? “ dengan sempoyongan ia berjalan mendekati Tania.

“ Sudah lupakan. Ini kunci mobilnya. Ayo kita berangkat sekarang. Jika tidak, aku akan terlambat. “
Ratna sesungguhnya bingung dengan ucapan – ucapan Tania pada pagi itu. Namun, ia tidak begitu mengusiknya. Ia mengira, bahwa dirinyalah yang belum begitu tiba dari dunia mimpi ke dunia nyata.
Mereka mengendap – endap keluar dari rumah. Tampak, pamannya Ratna tengah tertidur di sofa ruang tamu. Semakin berhati – hatilah mereka. Usaha mereka berhasil. Mereka keluar dari rumah itu diringi dengan rintik hujan fajar. Mobil mereka melaju dengan kecepatan yang tidak begitu tinggi. Ratna bertanya, ke manakah arah yang mereka akan tuju. Tania menjawab,

“ Bawalah aku ke rumahNya. “

“ Kamu kenapa sih, Tan? Dari tadi aneh gini. “ Ratna menatap dalam sahabatnya itu.

Ratna heran. Kali ini ia yakin, bahwa bukan dirinyalah yang setengah berhalusinasi. Tania memang berbeda. Dilihatnya Tania mengeluarkan beberapa surat yang terbungkus rapi di dalam amplopnya. Warna biru muda, warna kesukaannya. Tania berpesan kepada Ratna untuk memberikan surat – surat ini kepada orang tuanya. Ia menitipkan maaf dan mengatakan bahwa ia sangat menyayangi mereka.

“ Tan. Kamu jangan aneh gini deh. “ Dipandanginya Tania. Tania menatapnya balik.

“ Aku sayang kamu, Ratna. Terima kasih ya. “

“ Tan... Jangan gini deh.. “ Lalu Ratna kembali menghadapkan pandangannya ke depan. “ Rio?! “. Tampaklah Rio di depan mobilnya mengenakan jas putih . Ia membelokkan stir mobilnya, lalu semuanya gelap.

***

Cintaku, surgawi hidupku. Kini tak ada lagi batas semu diantara cinta kita berdua.  Tak ada lagi jarak yang memisahkan diriku dan dirimu. Tak ada lagi kata rindu yang terucap. Cukup sudah sabar yang kini merasuk di jiwa kita berdua. Karena kini, kita sungguh satu.

***

Ratna bersimpuh manis di depan rumah terakhir sahabatnya itu. Ia tersenyum. Dan meletakkan setangkai bunga Allium yang berarti Kesatuan. Kemudian ia melihat ke sebelah kirinya. Ya, tempat itu lah tempat peristirahatan Rio untuk terakhir kalinya. Diletakkannya sebuah surat disertai pot dengan bunga Azalea di atas rerumput terakhir Rio.

“ Selamat jalan, sahabat dan cinta pertamaku. Kuberharap kalian berbahagia bersama di nirwana sana. “

Kemudian Ratna berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan kehidupannya yang kini semakin terasa hampa...

***

Di bawah langit sendu aku menulis surat ini padamu. Gemercik hujan tak kuhiraukan sedikit pun. Telah lama kumemendam rasa ini. Namun aku sadar, ada suara yang menyapamu manja. Ada yang bersandar mesra di pundakmu. Dan ada yang membelai lembut hatimu. Selamanya rasa ini tak akan pernah terbalasakan. Aku sadar. Karena ia juga seorang sahabat yang kuimpikan. Sesosok sahabat yang sungguh seorang sahabat. Biarlah aku sendiri yang tenggelam dalam rasa ini. Selagi engkau dan dia berbahagia, aku pun juga akan bahagia.

Terima kasih telah menyisihkan sisa ruang dihatimu untuk diriku. Walau terbatas dalam kata ‘sahabat’ .

Dari yang mencintaimu, yang sudah mengasihimu ketika rintik hujan pertama kita bertemu, Ratna Putri.

No comments:

Post a Comment